Pluralisme Agama di Indonesia


            Pluralisme adalah sebuah ideologi di mana kita saling toleransi antar suku, agama, dan ras. Kata ‘pluralisme’ merupakan salah satu istilah yang sedang banyak diperbincangkan di era globalisasi, terutama di negara berkembang yang memiliki budaya yang beraneka ragam seperti di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan Indonesia itu sendiri merupakan negara yang menganut pluralisme berdasarkan adanya berbagai macam agama, suku, ras yang dimiliki masing-masing setiap Warga Negara Indonesia.
            Dari segi agama, Hick mendefinisikan pluralisme sebagai ‘nama yang diberikan kepada gagasan bahwa dunia agama yang luas membedakan respon manusia-manusia terhadap realitas penghabisan yang sangat bersifat realitas. Bahwa realitas itu sendiri melampaui cakupan dari sistem konseptual manusia[1]’. Di dalam hal itu terdapat sebuah penjelasan bahwa pluralisme dalam hal agama adalah sebuah ideologi di mana seseorang diminta untuk memiliki rasa saling toleransi dan saling memahami dalam hal berkeyakinan dengan maksud untuk menciptakan kehidupan yang harmonis antar masyarakat.
            Agama juga dibahas dalam Undang-Undang HAM. Dalam UUD 1945, hak kebebasan beragama terdapat dalam Pasal 28(E) ayat (1) yang berbunyi :
            “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” [2]
            Selain itu, hak kebebasan beragama juga terdapat dalam instrumen HAM Internasional seperti Declaration of Human Rights tahun 1948 pasal 18 yang berbunyi:

            “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk mewujudkan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan.”[3]
            Masalah yang sering timbul dari negara multikultural adalah adanya diskriminasi terhadap minoritas. Diskriminasi merupakan tindakan dimana kaum mayoritas memarginalkan kaum minoritas dan menghambat akses minoritas terhadap beberapa hal. Diskriminasi dapat terjadi di dalam berbagai bidang seperti diskriminasi umur, gender, suku, ras, dan agama. Diskriminasi bersifat buruk karena tidak memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang[4], dan menciptakan ketidakadilan di masayarakat.
            Di dalam undang-undang itu sendiri ada instrumen mengenai Hak bebas dari Diskriminasi. Di Indonesia terdapat UU No.40  tahun 2008 pasal 6 yang berbunyi :
            “Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”[5]
            Di internasional juga terdapat Undang-Undang yang membicarakan hak bebas dari diskriminasi, hal ini terdapat di dalam Human Rights Act 1988  pasal 14 mengenai Prohibition of Discrimination yang berbunyi :
            “Kenikmatan hak dan kebebasan yang diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia harus dijamin tanpa diskriminasi atas dasar apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, nasional atau asal sosial , hubungan dengan minoritas nasional, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.”[6]
            Indonesia sendiri masih belum lepas dari jeratan diskriminasi, terutama dalam masalah agama. Fakta bahwa Islam menjadi agama dengan umat terbanyak di Indonesia membuat masyarakat beragama Islam seringkali mendapat peran untuk menjalankan tugas-tugas besar dalam perkembangan multikultural dan demokrasi di Indonesia[7]. Sayangnya, masih banyak kaum islam yang masih intoleran terhadap sesamanya. Berbagai macam program studi pasca sarjana di tahun 2010 menunjukan bahwa tingkat intoleransi pada masyarakat kita meningkat. Hampir semua lembaga survey yang memiliki fokus pada bidang agama juga menunjukkan indikasi bahwa masyakarat khususnya kalangan muda lebih banyak mendukung bentuk-bentuk kekerasan dengan dalih agama[8]. Salah satu kasus yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih intoleran dengan perbedaan agama adalah ketika Susan Jasmine Zulkifli menjadi Lurah Lentang Agung pada Juli 2013 lalu. Susan yang beragama kristen ditolak oleh warga Lenteng Agung dengan alasan dia perempuan dan dia non-muslim[9]. Susan dianggap tidak kompeten karena tidak mewakili Lenteng Agung yang mayoritas adalah muslim[10], padahal kinerja Lurah Susan selama menjabat cukup baik dan tidak merugikan masyarakat. Warga Lenteng Agung mengaku bahwa mereka menolak kehadiran Lurah Susan karena adanya ‘pihak luar’ yang memprovokasi mereka untuk menurunkan Susan dari jabatannya[11]. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih ada diskriminasi yang terjadi, terutama ketika menyangkut masalah agama.
            Dengan demikian, meskipun Indonesia dan hukum Internasional telah mempublikasikan hak kebebasan dari diskriminasi sejak lama, namun banyaknya ajaran yang salah dan masyarakat yang kurang kritis mengakibatkan timbulnya tindakan diskriminasi kaum mayoritas terhadap kaum minoritas. Perlu adanya sosialisasi yang tepat dari keluarga, pemerintah, dan agen pendidikan supaya masyarakat dapat hidup bertoleransi dengan baik, sehingga pluralisme dalam kebhineka-tunggal-ika-an Indonesia dapat tercapai seperti yang diharapkan.



Sumber :
Arifin,Achmad Zainal,2014, Membela yang Lemah: Menggali Ide Pluralisme         Gusdur,Rangkuman Diskusi AIFIS,pp.5
Azra, Azyumardi ,2004, Managing pluralism in southeast Asia: Indonesian             experience,      Peace Research,pp.2
Hick(1999) dalam Anderson,Owen,2008,’The Presupposition of Religious Pluralism and The       Need for Natural Theology’,Springer Science,pp.202
Seggal,Shlomi,2012,What’s so Bad about Discrimination?,Cambridge University   Press,pp.82
Depkeu,2008.‘Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008’,
Equality and Human Rights Commision,2009,’Protection from Discriminatnion’,             http://www.equalityhumanrights.com/your-rights/human-rights/what-are-    human-            rights%3F/the-human-rights-act/protection-from-discrimination,
Hukumonline,2010,’Pertanyaan : HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia’,             http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-      beragama-di-   indonesia,
KOMPAS,2013,’ FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati’,
            http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Ha  rga.Mati?search=lurah+susan
TEMPO,2013,’ Lurah Susan Didemo Warga Lenteng Agung Lagi’,
            http://metro.tempo.co/read/news/2013/09/25/083516408/lurah-susan-didemo-warga-          lenteng-agung-lagi, diakses pada 1 Des 2015 jam 07.35
TEMPO,2013,’ Pengakuan Warga Lenteng Agung Soal Lurah Susan’,
             http://metro.tempo.co/read/news/2013/08/24/083507077/pengakuan-warga-lenteng-          agung-soal-lurah-susan, diakses pada 1 Des 2015 jam 07.40
UNESCO, ‘Declaration of Human Rights’, http://www.unesco.org/most/rr4udhr.htm







[1] Hick(1999) dalam Anderson,Owen,2008,’The Presupposition of Religious Pluralism and The Need for Natural Theology’,Springer Science,pp.202
[2] Hukumonline,2010,’Pertanyaan : HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia’, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-di-indonesia, diakses pada 1 Desember 2015 jam 03.00
[3] UNESCO, ‘Declaration of Human Rights’, http://www.unesco.org/most/rr4udhr.htm, diakses pada 1 Desember 2015 jam 06.07
[4] Seggal,Shlomi,2012,What’s so Bad about Discrimination?,Cambridge University Press,pp.82
[5] Depkeu,2008. ‘Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008’, http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2008/40tahun2008uu.htm, diakses pada 1 Desember 2015 jam 06.34
[6] Equality and Human RIghts Commision,2009,’Protection from Discriminatnion’, http://www.equalityhumanrights.com/your-rights/human-rights/what-are-human-rights%3F/the-human-rights-act/protection-from-discrimination, diakses pada 1 Desember 2015 jam 06.40
[7] Azra, Azyumardi ,2004, Managing pluralism in southeast Asia: Indonesian experience, Peace Research,pp.2
[8] Arifin,Achmad Zainal,2014, Membela yang Lemah: Menggali Ide Pluralisme Gusdur,Rangkuman Diskusi AIFIS,pp.5
[9] KOMPAS,2013,’ FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati’, http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati?search=lurah+susan , diakses pada 1 Des 2015 jam 07.15
[10] TEMPO,2013,’ Lurah Susan Didemo Warga Lenteng Agung Lagi’, http://metro.tempo.co/read/news/2013/09/25/083516408/lurah-susan-didemo-warga-lenteng-agung-lagi, diakses pada 1 Des 2015 jam 07.35
[11] TEMPO,2013,’ Pengakuan Warga Lenteng Agung Soal Lurah Susan’, http://metro.tempo.co/read/news/2013/08/24/083507077/pengakuan-warga-lenteng-agung-soal-lurah-susan, diakses pada 1 Des 2015 jam 07.40

Angkot oh Angkot

                Halo! Selasa kemarin habis ke kampus dianter mama, terus nemu angkot yang super duper nyebelin bikin pengen gua lindes tapi ga mungkin. Nah, gara-gara itu tiba-tiba kepikiran buat ngebahas kendaraan umum yang udah kayak cendol di Indonesia : ANGKOT
                Well, udah pada tahu lah ya angkot itu apa. Angkot itu kendaraan umum di Indonesia (terutama jabodetabek) yang berbentuk mobil atau mini bus. Biasa beroperasi di jalan raya dari pagi sampai malam. Angkot di setiap tempat memilki warna yang berbeda, dan jurusan yang berbeda-beda pula. Tujuannya ya agar masyarakat yang tidak mempunyai kendaraan bisa tetap ke tempat tujuannya dengan cepat dan aman.
                Tujuannya udah mulai banget tuh. Selain menolong masyarakat yang ga punya kendaaraan, angkot SEHARUSNYA juga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, apalagi yang jumlahnya udah membludak kayak cendol.  TAPIIIIIIIIII kenyataannya tidak demikian. Justru sekarang kendaraan pribadi makin banyak. Satu orang satu motor, atau lebih parahnya lagi, satu orang satu mobil. Oh the irony...
                Kenapa sih orang – orang sekarang lebih milih naik kendaraan pribadi ketimbang angkot? Nah, berdasarkan observasi dan pertanyaan yang gua lontarkan ke teman-teman gua yang kemana-mana pake kendaraan pribadi, akhirnya ditemukan beberapa alasan yang menurut gua mewakili semuanya :
  1.  Tukang Ngetem

                That’s the 1st (and) most reason that my friends told when I asked them “kenapa ga naik angkot aja?”. Di Jakarta (terutama Depok, tempat tinggal gua), angkot selalu di pinggir jalan. Buat yang gatau ngetem itu apa, ngetem adalah sebuah kegiatan dimana angkot berhenti di pinggir jalan untuk menunggu penumpang dengan tujuan memenuhi tempat duduk angkotnya. Nah, yang jadi masalah adalah, angkot itu suka banget ngetem lamaaaaaaaaaa banget di pinggir jalan. Waktu gua SMA, gua pernah naik angkot ke arah rumah. Kebetulan emang ga ada penumpang lain di angkot itu selain gua, terus begitu kami di Giant, Cimanggis, dia berhenti di pinggir jalan, lalu ngetem.
                .... 1 menit.... oke gua masih sabar, satu orang mulai masuk.
                ..... 5 menit.... Yaa gapapa lah, belum ada tambahan orang lagi
                ...... 10 menit.... Coy panas coy, tapi satu orang mulai masuk lagi.
                ...... 15 menit..... Beuh udah ga kuat gua!
                Sampe setengah jam angkotnya ngetem! Dan lebih parahnya lagi, supir angkotnya malah keluar minum es di warung deket situ, ninggalin penumpangnya yang kepanasan kayak dipanggang. HIH! Ga mikirin penumpangnya! Dikira penumpang itu sembako kali ya ditinggalin gitu aja. Akhirnya gua turun, tinggalin tuh angkot, terus naik ojek dah. Kosong lagi dah tuh angkot.

      2.  Lama

                Nah, udah gitu, selain ngetemnya berkali-kali, angkot itu juga lama coy.
“Kok bisa!? Katanya angkotnya membludak kayak cendol?”
                Jadi gini, angkot itu, meskipun jumlahnya banyak, tapi jalannya lambaaat banget, apalagi kalo dia lagi di perumahan. Setelah berabad-abad ngetem, akhirnya angkot jalan tuh. Tapi dibilang jalan juga engga soalnya dia cuma ‘main-mainin’ kopling! Dan buat yang ga tahu, kopling itu mesin dalam mobil manual yang bikin mobil jadi jalan (sebelum akhirnya digas). Kecepatan kopling itu ya ga ada, karena cuma memicu mobil buat jalan. Jadi leleet banget. Bahkan lebih cepet jalan kaki kayaknya. Nah, begitu angkot udah di jalan raya, barulah dia nge-gas sekenceng-kencengnya kayak di kejar setan.
                Selain itu, angkot juga suka lama karena ngobrol sama supir lain.
                Maksudnya?
                Ya itu, ngobrol sama supir lain dari arah yang berlawanan.
                Begini, misalnya ada angkot lagi jalan nih, terus ada angkot yang sama (partner dia) dari arah berlawanan. Terus dia menyapa temennya (sesama supir angkot) yang dari arah berlawanan itu. Kalo cuma nyapa sih selow lah ya. Masalahnya bukan cuma nyapa, terkadang mereka malah ngobrol. Mulai dari “ada razia ga disana?” sampe “eh semalem Chelsea menang ga?”. Bayangin aja, di tengah jalan ngobrol kayak gitu, gimana ga lama. Dan akhirnya mereka berdua jadi sumber kemacetan karena menghalangi mobil lain yang mau lewat. Cape deh!

            3. Panas

                Kalo ini menurut gua relatif. Angkot emang ga punya AC, kalaupun punya, itu cuma buat hiasan. Tapi kalo jalan, ada anginnya kok, soalnya ada jendela-jendelanya. Ya menurut gua orang bakal merasa kepanasan kalo dia naik angkot di Jakarta siang-siang, terus macet, terus jendela angkotnya ketutupan orang berbadan lebar. Tapi kalo seandainya angkotnya jalan di daerah dingin kayak Bogor atau Puncak, gua rasa ga bakal panas-panas amat.
4
             4. Ga Bisa Menghitung

                Maksudnya!? Ya ga bisa perhitungan antara jumlah penumpang dengan kursi angkot yang dia miliki. Begini, pernah naik angkot yang udah super duper penuh, sampe dempet-dempetan, sampe lu aja mau bergerak aja ga bisa, tapi angkotnya masih ngetem dan teriak-teriak ke orang-orang  “Ayo neng! Kosong neng! Yang kiri geser yang kiri!”, padahal udah jelas ga bisa masuk. Nah itulah yang gua sebut dengan ‘ga bisa menghitung’. Udah tahu angkot udah penuh, sampe-sampe tuh mobil body-nya turun (karena banyaknya penumpang) masih aja dibilang “Kosong”. Kenapa bisa gitu ya? Kalo menurut gua sih, angkot kayak gitu karena ingin mendapat lebih banyak uang, jadi dia paksa-paksain masuk. Tapi kan tetep aja nyusahin kita 

         5. Sembarangan Nurunin Penumpang

                Ini juga jadi alasan kenapa teman-teman gua males naik angkot. Terkadang angkot yang ngetem, akan jalan juga meskipun tanpa penumpang. Hal ini dikarenakan karena sudah sejam, tapi penumpangnya daritadi ya cuma satu, ya akhirnya dia mau ga mau ya jalan. Terus kalau seandainya udah jalan 2-3 km tapi ga ada penumpang yang naik, maka dia bakal ngomong ke satu-satunya penumpang yang ada di situ kayak gini : “mbak/mas/pak/bu, turun di sini aja ya, saya mau muter balik”, habis itu kita diturunin di situ, terus dengan sigap angkotnya muter balik, habis itu pergi ke arah ‘pulang’. Angkot kayak gitu dengan harapan kalau seandainya dia jalan di arah sebaliknya, dia bakal dapet penumpang. Tapi yang kesusahan kita, diturunin gitu aja, masih mending kalau ada angkot berikutnya. Kalau ngga? Bye bye beibeh..

           6. Ugal-ugalan

                Yak! Bener banget! Angkot seneng banget yang namanya ngebut mendadak dan ngerem mendadak. Selain itu, angkot juga demen banget yang namanya nyalip sembarangan, bahkan suka ambil jalur dari arah yang berlawanan. Habis itu, gitu dia ambil jalur berlawanan, dia papasan sama mobil/motor dari arah berlawanan, mau gamau dia harus balik ke jalur dia kan. Ironisnya, jalur yang satu lagi ga bisa ngasih jalan (entah orang-orangnya males atau emang macet jadi ga bisa ngasih jalan), akhirnya angkotnya ngestuck lah di jalur orang. Habis itu dia klakson-klakson maksa supaya orang-orang kasih jalan. Lah yang salah siapa, yang ngomel siapa. Haduh kayak ga pernah sekolah aja. Eh, tapi emang rata-rata supir angkot tidak berpendidikan tinggi, makanya kayak gitu

         7. Horror

               Horror begimane? Ya horror angkotnya. Karena ada sebagian angkot yang mesinnya udah bobrok banget, sampe-sampe kalau jalan pun suka bunyi ‘krieeet’ kayak pintu kalo di buka. Bayangkan jika kamu naik angkot, terus tiap ada polisi tidur, ada bunyi ‘krieet’ dan suara kayak robot super tua yang disenggol anak kecil dikit aja hancur. Kan horror..


                Yah kira-kira begitulah alasan kenapa banyak  orang lebih milih naik kendaraan pribadi atau kendaraan umum lain (transjakarta, taxi (uber atau offline), ojek (online/offline) ketimbang angkot. Tapi bukan berarti semua supir angkot kayak gitu. Gua pernah nemu supir angkot yang nyetirnya bener, ga ugal-ugalan, bahkan dia ga mau ngetem dengan alasan “saya ga mau nyusahin orang lain mbak gara-gara saya ngetem. Entar kalo saya jalan juga orang-orang pasti mau naik angkot saya”, cuma ya masih sedikit orang yang punya kepribadian kayak gitu.
                Dan gua rasa pemerintah perlu mengadakan pelatihan khusus buat supir angkot deh. Supaya ga ugal-ugalan, ga nyusahin orang-orang di jalan. Karena kalo ngga, orang-orang bakal jauhin angkot, habis itu angkot bakal menghilang, dan pengangguran makin banyak. Kan kasihan.
                Selain itu, juragan-juragan angkotnya juga perlu memperhatikan mobil-mobil milik mereka, supaya ga bobrok kayak angkot di beberapa tempat. Jadi maksud gua perlu pemeriksaan rutin gitu setiap beberapa bulan sekali, atau setahun sekali deh. Jadi kalau ada yang rusak atau mulai error, bisa langsung diperbaiki, ga perlu nunggu rusak parah kayak angkot-angkot tua yang disitu. Jadi ga keluar duit banyak juga kan. Apalagi yang soal AC yang cuma jadi pajangan di mobil. Kalo itu diperbaiki, pasti bakal banyak penumpang yang mau naik.
                Tapi itu baru pendapat gua sih. mudah-mudahan angkot bakal berkembang terus, soalnya angkot tuh berguna banget buat orang yang tinggal di pelosok-pelosok. Dan gua rasa kalo seandainya angkot makin berkembang, pasti pemilik kendaraan pribadi langsung beralih ke angkot. Dan kalo gitu, akan mengurangi kendaraan di Jakarta, jadi mengurangi macet deh. Enak kan? Enak kaaaan?

12.11.2015

Shirleyuri

Hak Kebebasan Berkeyakinan dan Diskriminasi : Analisis Kasus Pembakaran Gereja di Aceh, Singkil

Kebebasan berkeyakinan adalah sebuah hak yang dimiliki setiap orang dalam berkeyakinan dan beragama terhadap Tuhan atau hal lain yang dia akui. Hak bebas berkeyakinan terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang  menegaskan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dua ayat ini menunjukkan bahwa memiliki agama atau keyakinan merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia.
            Diskriminasi adalah sebuah tindakan dimana golongan mayoritas memarginalkan kaum minoritas karena adanya hate crime yang muncul di dalam kelompok tersebut. Diskriminasi berasal dari adanya sifat stereotype dan prasangka. Prasangka adalah sebuah tindakan antipati yang didasarkan atas kurangnya sifat menggeneralisasikan yang fleksibel terhadap suatu golongan di dalam masyarakat[1]. Diskriminasi dapat berupa pengucilan, maupun pengusiran terhadap golongan tertentu. Hal ini jika diberlanjutkan, dapat mengurangi toleransi antara masyarakat. Ketika masyarakat rasis terhadap sesuatu yang mengabaikan diskriminasi, maka akan menghasilkan dikap prasangka terhadap golongan lain[2]
            Kasus pembakaran gereja di Singkil, Aceh, merupakan contoh salah satu minimnya hak bebas berkeyakinan dan tingginya diskriminasi di kalangan masyarakat. Kasus pembakaran gereja HKI (Huria Kristen Indonesia) dimulai pada 13 Oktober 2015, terjadi setelah munculnya protes dari warga bahwa gereja tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Warga yang tidak sabar akhirnya beramai-ramai ke gererja pada pukul 11.00. Hal ini menimbulkan dua korban tewas dan empat orang luka-luka. Hal ini melanggar kebebasan berkeyakinan, terlihat dari ketidaksukaan warga atas didirikannya rumah peribadatan tersebut.
            Di sini juga terlihat bahwa tingkat tolneransi beragama antar masyarakat juga masih kurang, dalam survey opini Publik mengenai Toleransi beragama yang dilakukan oleh LSI pada tahun 2006, mereka tidak keberatan apabila ada kaum minoritas tinggal di sekitar mereka, tetapi tidak setuju apabila dibangun rumah peribadatan kaum minoritas di sekitar mereka. Sangat sedikit yang memiliki pandanganyang benar-benar positif atau percaya terhadap orang lain. Rendahnya Social Trust ini merupakan hal yang sangat buruk dalam kerjasama antar warga dan menumbuhkan solidaritas sosial.[3]
            Selain itu, negara secara tidak langsung juga melanggar hak berkeyakinan yang dimiliki oleh warga Kristen di Singkil. Karena pada Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Namun kenyataannya masih saja ada kericuhan seperti ini. Dari merdeka.com disebutkan bahwa gereja dibakar karena tidak memiliki izin, dan warga yang tidak sabar akhirnya memutuskan untuk menghakimi dengan cara mereka sendiri.[4] Di sisi lain, pemerintah menyatakan bahwa bukan hanya gereja saja yang tidak memiliki izin, tetapi masjid, vihara, klenteng dan tempat peribadatan lainnya juga banyak yang tidak memiliki IMB dalam pendiriannya.[5] Apa perbedaannya? Perbedaannya terletak pada rumah ibadat itu sendiri. Ketika Masjid didirikan, meskipun ilegal karena tidak mempunyai IMB, namun karena masyarakat tidak bereaksi, maka hal itu akan dibiarkan. Sedangkan ketika gereja atau rumah ibadat lain dibangun tanpa adanya IMB, karena masyarakat merasa tidak setuju, maka akan timbul rasa ingin menggusur rumah peribadatan tersebut.
            Melihat hal ini, pemerintah dan aparat penegak hukum harus tegas dalam menggalakan IMB. Jika memang tidak memiliki IMB, ada baiknya harus digusur. Tapi ini harus berlaku untuk semua rumah peribadatan dan fasilitas umum lainnya, bukan mengistimewakan satu golongan karena mereka mayoritas. Polisi dan pemerintah harus tegas dalam hal ini, dan masyarkat juga harus sadar dan memiliki moral bahwa semua golongan memiliki hak ibadat yang sama, dan bahwa semua masalah dapat dilakukan secara konsensus. Artinya, tidak boleh ada sekelompok masyarakat di luar polisi yang bertindak sewenang-wenang kepada warga negara lain. Karena kekerasan atas nama agama di Indonesia tidak akan pernah berhenti selama polisi tidak pernah tegas. 



Sumber :
Baumeister, Roy F., dkk,2010, Pyschology : The State of the Science,Oxford University    Press,
Fiske, Susan T., 2000, Stereotyping, prejudice, and discrimination at the seam between the             centuries:evolution, culture, mind, and brain, European Journal of Social     Psycholo`y Eur[ J[ Soc[ Psychol[ 29\ 188Ð211"1999#, hal.300
Lembaga Survei Indonesia,2006, Survei Opini Publik : Toleransi Sosial Masyarakat           Indonesia,             http://www.lsi.or.id/file_download/20




[1]  Roy F. Baumeister dkk,2010, Pyschology : The State of the Science,Oxford University Press,hal. 342
[2] Susan T. FIske, 2000, Stereotyping, prejudice, and discrimination at the seam between the centuries: evolution, culture, mind, and brain, European Journal of Social Psycholo`y Eur[ J[ Soc[ Psychol[ 29\ 188Ð211 "1999#, hal.300
[3] Lembaga Survei Indonesia,2006, Survei Opini Publik : Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia, http://www.lsi.or.id/file_download/20,Hal.12, diakses pada 24 Oktober 2015 jam 13:12
[4] Aryo Putrapto Saptohutomo, 2015,‘Kericuhan Aceh Singkil dipicu Desakan Pembongkaran Gereja’, http://www.merdeka.com/peristiwa/kerusuhan-di-aceh-singkil-dipicu-desakan-pembongkaran-gereja.html, diakses pada 24 Oktober 2015, jam 15:01
[5] Tri Wahyuni,2015, ‘Ahok : Banyak Rumah Ibadah di Jakarta tidak punya IMB’, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150724101312-20-67939/ahok-banyak-rumah-ibadah-di-jakarta-tak-punya-imb/, diakses pada 24 Oktober 2015, jam 15:05

Catatan Hati Pemusik Gereja yang Tidak Penting (haha)



         Tulisan ini gua buat hanya berdasarkan opini gua, bukan berdasarkan catatan orang atau jurnal-jurnal penelitian nasional/internasional. Gua menulis tulisan ini dalam rangka mengungkapkan semua pikiran gua selama menjadi pemusik di GPIB Gideon, Kelapa Dua, Depok. Jadi maaf-maaf saja kalau seandainya tulisan ini benar-benar tidak seperti tulisan-tulisan ilmiah. Karena yaa, ini catatan pribadi gua hahaha.
            Musik dalam kehidupan orang kristen memang tidak bisa dipisahkan. Bisa dibilang, musik dalam kegiatan beribadah di gereja merupakan satu kesatuan yang dapat melancarkan jalannya peribadatan di sebuah gereja, hal ini membuat pelayanan pemusik dalam gereja menjadi hal yang penting dan krusial. Sayangnya, pemusik di dalam Gereja, terutama gereja-gereja  tradisional seperti HKBP, GPIB, dan gereja lainnya masihlah terbilang sedikit. Di Gereja gua, GPIB Gideon, Depok, jumlah pemusik dapat dihitung dengan jari. Ketika ditanyakan alasan mengapa tidak ingin menjadi pemusik di gereja, sebagian besar menjawab tidak percaya diri, tidak suka musiknya, dan juga ada yang tidak suka dengan ketidak bebas-an dalam bermain musik.
            Gua menjadi pemusik di gereja ketika berusia 14 tahun, pertama kali gua melayani adalah ketika paskah PA (Pelayanan Anak, di gereja lain menyebutnya sebagai sekolah minggu) saat itu, gua masih tidak berani, benar-benar takut di hadapan semua jemaat baik anak PA maupun orang tua yang menemani (Padahal di tempat les, gua udah sering konser kecil-kecilan haha). Bahkan juga sering kagok ketika memulai intro. Kemudian dari sana, gua mulai diminta pelayanan minggu di Gereja untuk ibadah umum, di situ gua juga masih ketakutan, padahal sudah latihan berhari-hari, tapi tetap saja masih takut ckckck...
            Gua mulai berani bermain santai pas kelas 11, ketika gua mencoba berbagai style untuk bermain satu lagu. Lagu ‘disini aku bawa Tuhan’ (Dison adong Huboan Tuhan) itu lagu pertama yang gua otak-atik, disaat yang lain bermain agak country dan agak batak, gua mencoba bermain ala bossanova,  and it was great! Gua memainkannya ketika persembahan sedang diedarkan (hanya instrumen, singer dan semua pelayan lain tidak bernyanyi), awalnya gua masih main yang standard, ala-ala country dan batak gitu. Tapi selama main gua tiba-tiba berpikir ‘Apa ga bosan ya mainnya gini-gini doang?’, akhirnya gua mencoba ‘mengotak-atik’ musiknya. Dimulai dari style nya dulu, awalnya chordnya kumainkan ala-ala appregio, lalu gua coba main sok jazzy (padahal baru belajar dasar-dasarnya doang hahaha), terus selama musiknya gua mainkan, gua selalu memikirkan style apa yang kira-kira cocok buat lagu ini. Tiba-tiba kepikiran aja mau mainin lagu itu pake bossanova. Ternyata berhasil! Waktu itu gua super seneng, dan, mungkin karena selama ini jarang yang mainin pake style itu, akhirnya sebagian besar jemaat pada ngeliatin gua terus selama main hahaha. Semenjak itu gua mulai berani main lagu gereja dengan style yang tidak umum, meskipun ya tetap saja harus melihat arti dari lagu yang kita mainkan.
            Jadi pemusik di gereja itu asik kok, ga kalah jauh sama jadi pemusik biasa. Kemampuan piano jadi ga hilang karena terus dimainkan. Dan juga orang-orang juga jadi kenal kita hahaha. Tapi ada enak, ada ga enaknya juga dong. Ya iyalah, kalau ga enaknya tuh ada banyak yaa. Waktu itu, pas kami lagi persiapan buat hari minggu, muncul bapak-bapak yang protes sama musik yang kami mainkan. Gua masih ingat kata-katanya waktu itu :
            “Di sini kan tulisannya organist, yang artinya pemain organ. Harusnya tuh mainnya seperti bermain organ, bukan kayak di cafe atau restoran!”
            Padahal siapa juga yang main kayak di cafe-cafe. Bahkan di gereja gua ga ada organ, adanya clavinova, berarti kami bukan organist dong, tapi clavinist hahaha.  Tapi dia cuma berkoar-koar sebentar, habis itu karena ga ada yang menanggapi, akhirnya dia diam sendiri, kasian...
            Dulu juga pernah ada ibu-ibu yang selalu menyuruh kami supaya lagunya diperlambat, bahkan kami ga bisa mengotak-atik musiknya. Bayangkan, waktu lagi persembahan, dan gua sedang mengotak-atik musiknya, tiba-tiba dia berdiri diantara bangku jemaat, terus nyuruh gua supaya jangan mainin lagu itu lagi. Gua itu orangnya ga suka dimarahin di depan umum, lebih suka kalau dikritik di depan gua langsung, tapi ga pake teriak-teriak kayak orang-orang DPR pas sidang Paripurna ke 7 (http://nasional.tempo.co/read/news/2014/10/28/078617694/paripurna-dpr-ricuh-meja-rapat-digulingkan) dan disitu selama main gua super gondok, rasanya pengen bejek-bejek tuh ibu-ibu, tapi ga nyelesain masalah juga, jadi gua cuma bisa bejek-bejek dalam khayalan :(, terus dia bilang “main musiknya tuh jangan kayak gitu bla bla bla bla”. Huh, padahal anaknya sendiri main musik kayak di cafe  remang-remang :(. Untung sekarang dia sudah pindah gereja, ya pergilah hush hush!
            Ada juga bapak-bapak yang bilang kalau gua dan beberapa teman (sesama pemusik gereja) mainnya salah, ga bener, dsb. Terus dia mengaku kalau dia udah dapet sertifikat, pernah pelatihan lah, dan sebagainya. Haduh, pak, kami juga udah pendidikan kali, dikata kami ga ngerti musik kali ya. Dan lebih sebelnya lagi, dia mengaku pernah pelatihan, pendidikan, dan sebagainya, tetapi ga mau jadi pelayan dengan alasan sibuk. Hebat ga tuh?
            Ada juga yang ga tukang kritik kayak orang-orang diatas, tapi merasa sok tahu. Waktu gua pelayanan, katanya bakal ada solois dan keyboardist yang mau ngisi pujian. Tapi dia ga dateng-dateng, jadi majelis pikir, dia ga jadi ngisi. Tapi pas lagi doa syafaat, barulah dia datang buru-buru, ngotak-atik sound system, dsb. Masalahnya, sound systemnya kan menyatu dengan  clavinova ku, dan kalau suaranya dikecilkan, otomatis suara musikku juga bakal kecil, Nah, waktu itu dia otak-atik, dia ga kembalikan seperti semula. Saat itu gua lagi doa, jadi ga merhatiin suasana sekitar juga. Dan saat doxology (di gereja kami, doxology biasa dinyanyikan), gua kaget karena suaranya tiba-tiba mengecil 50%. Ya gua kaget dong, begitu gua merhatiin soundnya, gua langsung bete 10 kali lipat. Akhirnya pas selesai doxology, gua langsung tinggalin clavinova, terus membenarkan soundnya ke semula. Mungkin dia sadar kalau dia salah, langsung nyamperin gua, terus langsung gua komen aja “Makanya om jangan sok tahu kalau telat”. Ya, kasar, maafkan gua.
            Duh jadi ngedumel gini hahaha. Tapi ya begitulah, ternyata orang-orang di gereja nyebelinnya sama kayak orang-orang di luar gereja. Dan menjadi pemusik gereja tidak segampang yang orang lain kira. Kenapa? Karena ya ada banyak halangan yang bikin kita tuh jadi ga sejahtera selama melayani. Dan yang paling sering muncul bukan soal teknis, tapi orangnya. Ada yang banyak mau tapi ga bisa kasih solusi, ada yang idealis tapi ga bisa kasih tahu alasan kenapa idealis itu harus ditegakkan, ada juga yang mengintervensi cara main kita, tapi dia ga mau memperbaiki cara main orang lain. Yah begitulah, tapi kalau kata papa sih, kita ga boleh masukkin itu ke dalam hati, anggap aja angin lalu. Kalau ngga, yang ada malah kita mainnya ga menghayati, akhirnya niat untuk melayani pun hilang. Dan gua harap, partner-partner pemusik di Gereja ga kapok ya buat main di gereja. Gua yakin, dengan adanya masalah-masalah kayak gini, pasti kita bakal lebih kuat, baik mental maupun iman. Semangat!

Catatan hati seorang Pemusik yang ga penting
24-Oktober-2015
09:09

Efektivitas Nostalgia dalam Lagu-Lagu Masa Kini

Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2017, sebuah lagu berjudul ‘Plastic Love’ diunggah di Youtube. ‘ Plastic Love ’ yang dinyanyikan o...