Kebebasan berkeyakinan
adalah sebuah hak yang dimiliki setiap orang dalam berkeyakinan dan beragama
terhadap Tuhan atau hal lain yang dia akui. Hak bebas berkeyakinan terdapat
dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang menegaskan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Hak
kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dua ayat ini menunjukkan bahwa
memiliki agama atau keyakinan merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seluruh
warga negara Indonesia.
Diskriminasi adalah sebuah tindakan dimana golongan
mayoritas memarginalkan kaum minoritas karena adanya hate crime yang muncul di dalam kelompok tersebut. Diskriminasi
berasal dari adanya sifat stereotype dan prasangka. Prasangka adalah sebuah
tindakan antipati yang didasarkan atas kurangnya sifat menggeneralisasikan yang
fleksibel terhadap suatu golongan di dalam masyarakat[1]. Diskriminasi dapat berupa
pengucilan, maupun pengusiran terhadap golongan tertentu. Hal ini jika
diberlanjutkan, dapat mengurangi toleransi antara masyarakat. Ketika masyarakat
rasis terhadap sesuatu yang mengabaikan diskriminasi, maka akan menghasilkan
dikap prasangka terhadap golongan lain[2]
Kasus pembakaran gereja di Singkil, Aceh, merupakan
contoh salah satu minimnya hak bebas berkeyakinan dan tingginya diskriminasi di
kalangan masyarakat. Kasus pembakaran gereja HKI (Huria Kristen Indonesia)
dimulai pada 13 Oktober 2015, terjadi setelah munculnya protes dari warga bahwa
gereja tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Warga yang tidak
sabar akhirnya beramai-ramai ke gererja pada pukul 11.00. Hal ini menimbulkan
dua korban tewas dan empat orang luka-luka. Hal ini melanggar kebebasan
berkeyakinan, terlihat dari ketidaksukaan warga atas didirikannya rumah
peribadatan tersebut.
Di sini juga terlihat bahwa tingkat tolneransi beragama
antar masyarakat juga masih kurang, dalam survey opini Publik mengenai
Toleransi beragama yang dilakukan oleh LSI pada tahun 2006, mereka tidak
keberatan apabila ada kaum minoritas tinggal di sekitar mereka, tetapi tidak
setuju apabila dibangun rumah peribadatan kaum minoritas di sekitar mereka. Sangat
sedikit yang memiliki pandanganyang benar-benar positif atau percaya terhadap
orang lain. Rendahnya Social Trust ini merupakan hal yang sangat buruk dalam
kerjasama antar warga dan menumbuhkan solidaritas sosial.[3]
Selain itu, negara secara tidak langsung juga melanggar
hak berkeyakinan yang dimiliki oleh warga Kristen di Singkil. Karena pada Pasal
29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Namun
kenyataannya masih saja ada kericuhan seperti ini. Dari merdeka.com disebutkan
bahwa gereja dibakar karena tidak memiliki izin, dan warga yang tidak sabar
akhirnya memutuskan untuk menghakimi dengan cara mereka sendiri.[4] Di sisi lain, pemerintah
menyatakan bahwa bukan hanya gereja saja yang tidak memiliki izin, tetapi
masjid, vihara, klenteng dan tempat peribadatan lainnya juga banyak yang tidak
memiliki IMB dalam pendiriannya.[5] Apa perbedaannya?
Perbedaannya terletak pada rumah ibadat itu sendiri. Ketika Masjid didirikan,
meskipun ilegal karena tidak mempunyai IMB, namun karena masyarakat tidak
bereaksi, maka hal itu akan dibiarkan. Sedangkan ketika gereja atau rumah
ibadat lain dibangun tanpa adanya IMB, karena masyarakat merasa tidak setuju,
maka akan timbul rasa ingin menggusur rumah peribadatan tersebut.
Melihat hal ini, pemerintah dan aparat penegak hukum
harus tegas dalam menggalakan IMB. Jika memang tidak memiliki IMB, ada baiknya
harus digusur. Tapi ini harus berlaku untuk semua rumah peribadatan dan
fasilitas umum lainnya, bukan mengistimewakan satu golongan karena mereka
mayoritas. Polisi dan pemerintah harus tegas dalam hal ini, dan masyarkat juga
harus sadar dan memiliki moral bahwa semua golongan memiliki hak ibadat yang
sama, dan bahwa semua masalah dapat dilakukan secara konsensus. Artinya, tidak
boleh ada sekelompok masyarakat di luar polisi yang bertindak sewenang-wenang
kepada warga negara lain. Karena kekerasan atas nama agama di Indonesia tidak
akan pernah berhenti selama polisi tidak pernah tegas.
Sumber :
Baumeister,
Roy F., dkk,2010, Pyschology : The State
of the Science,Oxford University Press,
Fiske,
Susan T., 2000, Stereotyping, prejudice,
and discrimination at the seam between the centuries:evolution,
culture, mind, and brain, European Journal of Social Psycholo`y Eur[ J[ Soc[ Psychol[ 29\
188Ð211"1999#, hal.300
Lembaga
Survei Indonesia,2006, Survei Opini
Publik : Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia,
http://www.lsi.or.id/file_download/20
[1] Roy F. Baumeister dkk,2010, Pyschology : The State of the Science,Oxford
University Press,hal. 342
[2]
Susan T. FIske, 2000, Stereotyping, prejudice, and discrimination at the seam
between the centuries: evolution, culture, mind, and brain, European Journal of
Social Psycholo`y Eur[ J[ Soc[ Psychol[ 29\ 188Ð211 "1999#, hal.300
[3]
Lembaga Survei Indonesia,2006, Survei
Opini Publik : Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia, http://www.lsi.or.id/file_download/20,Hal.12,
diakses pada 24 Oktober 2015 jam 13:12
[4]
Aryo Putrapto Saptohutomo, 2015,‘Kericuhan Aceh Singkil dipicu Desakan
Pembongkaran Gereja’, http://www.merdeka.com/peristiwa/kerusuhan-di-aceh-singkil-dipicu-desakan-pembongkaran-gereja.html,
diakses pada 24 Oktober 2015, jam 15:01
[5]
Tri Wahyuni,2015, ‘Ahok : Banyak Rumah Ibadah di Jakarta tidak punya IMB’, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150724101312-20-67939/ahok-banyak-rumah-ibadah-di-jakarta-tak-punya-imb/,
diakses pada 24 Oktober 2015, jam 15:05
No comments:
Post a Comment