Moral Responsibility in Punishment


            
           Dalam penghukuman, ada dua pandangan, yaitu backward looking dan forward looking. Pendukung  forward looking melihat bahwa seseorang mendapat hukuman agar di masa depan dia mendapat makna bagi individu dan masyarakat. Sedangkan backward looking melihat bahwa seseorang dihukum karena dia telah berbuat salah di masa lalu.
            Dalam backward looking, hanya digunakan satu teori, yaitu teori retributif atau just desert theory. Teori positif retributif adalah salah satu notasi dari sistem penghukuman. Pelaku yang melakukan kejahatan, harus dihukum. Orang yang tidak melakukan kejahatan tidak boleh tidak dihukum, begitu juga pelaku tidak boleh dihukum lebih berat daripada tindakan kejahatan yang dia perbuat[1]. Menurut Immanuel Kant, penghukuman dilakukan murni karena seseoarang melakukan kejahatan. Pelaku harus membayar kejahatan mereka; jika tidak, maka yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan. Selanjutnya, hukuman harus seuai dengan tindak kejahatannya[2]. Ketika kamu menyiksa orang, kamu harus menyiksa dirimu sendiri, ketika kamu mencuri, maka kamu harus mencuri barangmu sendiri sebagai bentuk penghukuman. Sebagai contoh, ketika seseorang  melakukan pencurian, maka dia harus dihukum sesuai dengan apa yang dia lakukan. Seorang pencuri kambing tidak mungkin mendapat penghukuman yang sama dengan orang yang melakukan korupsi di dalam pemerintahan. Penghukuman dalam teori desert tidak harus selalu dalam bentuk kematian, yang terutama dalam hal ini adalah kesetaraan antara tindakan yang dia lakukan dengan hukum yang dia terima[3].
            Ada dua variasi teori retributif, yaitu retributif positif dan retributif negatif.[4] Retributif positif memandang bahwa penghukuman terhadap seorang pelaku kejahatan adalah suatu hal yang baik untuk dilakukan. Mereka memandang bahwa penhukuman memang harus ada untuk menjaga keadilan di dalam masyarakat. Karena itu mereka pada dasarnya mendukung ketika pemerintah memberikan penghukuman kepada pelaku kejahatan karena menurut pendukung retributif positif, pelaku-pelaku tersebut memang pantas mendapatkannya. Sedangkan retributif negatif merupakan kebalikan daripada retributif positif. Mereka hanya  melihat kendala dari penghukuman yang dilakukan, menurut mereka, tidak ada alasan positif dalam melakukan penghukuman. Di sisi lain, karena pendukung retributif negatif tidak menyebutkan alasan keadilan yang positif dalam penghukuman, sebagian menganggap bahwa orang retributif negatif bukanlah pendukug retributif.
            Tujuan dari adanya desert theory adalah menjaga martabat manusia melalui penghukuman. Hal ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cara berpikir yang bebas (freewill), dan mampu membuat pilihan moral untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang dilarang secara normatif. Retributif dilakukan dalam rangka menghargai martabat manusia dan sebagai bentuk respon atas tindakan yang dilakukan orang tersebut [5]. Para pendukung teori retributif menganggap bahwa penghukuman merupakan sebuah kewajiban moral. Menurut mereka, hukum keadilan perlu dilakukan dengan indikasi bahwa penghukuman tersebut akan mereformasi dan mengajarkan pelaku kejahatan alasan moral yang membuat dia dituntut secara hukum[6]. Dengan dilakukannya penghukuman, diharapkan mereka menjadi jera dan tidak akan melakukan kejahatan yang sama. Adalah sebuah kesalahan ketika seseorang melakukan kejahatan, namun tidak dihukum, atau dihukum, tetapi tidak sepadan dengan perbuatan yang dia lakukan. Karena tindakan tersebut tidak akan mengajarkan pendidikan moral kepada pelaku dan masyarakat, justru pelaku akan terus melakukan tindakan mereka secara terus-menerus dan akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.

Sumber :
Carlsmith, K.M. 2001, WHY DO WE PUNISH? RETRIBUTION, DETERRENCE, AND   INCAPACITATION AS MOTIVES FOR PUNISHMENT, Michigan: Bell & Howell       Information and Learning Company, St.Cloud State            University : Thomas Wadworth
Lipkin, R.J. 1988, The Moral Good Theory of Punishment, Widener University Delaware Law      School
Starkweather, D.A. 1992, The Retributive Theory of "Just Desserts" and Victim Participation        in Plea Bargaining,Indiana Law Journal: Vol.67: Iss 3,Article 9
White, J.E,2009, Contemporary Moral Problems, hal.210
Internet Encyclopedia of Philosophy,n.d, The Moral Permissibility of Punishment, available          from             http://www.iep.utm.edu/m-p-puni/#H4 [21 Februari 2016]
Stanford Encyclopedia of Philosophy 2001, Legal Punishment, available from             http://plato.stanford.edu/entries/legal-punishment/#PosRetMeaDes [ 21 Februari 2016]






[1] Stanford Encyclopedia of Philosophy 2001, Legal Punishment, available from http://plato.stanford.edu/entries/legal-punishment/#PosRetMeaDes [ 21 Februari 2016]
[2] White, J.E,2009, Contemporary Moral Problems, hal.210
[3] Carlsmith, K.M. 2001, WHY DO WE PUNISH? RETRIBUTION, DETERRENCE, AND INCAPACITATION AS MOTIVES FOR PUNISHMENT, Michigan: Bell & Howell Information and Learning Company, St.Cloud State University : Thomas Wadworth, hal.10
[4] Internet Encyclopedia of Philosophy,n.d, The Moral Permissibility of Punishment, available from http://www.iep.utm.edu/m-p-puni/#H4 [21 Februari 2016]
[5] Starkweather, D.A. 1992, The Retributive Theory of "Just Desserts" and Victim Participation in Plea Bargaining, Indiana Law Journal: Vol.67: Iss 3,Article 9,hal.4
[6] Lipkin, R.J. 1988, The Moral Good Theory of Punishment, Widener University Delaware Law Scho, hal.14

No comments:

Post a Comment

Efektivitas Nostalgia dalam Lagu-Lagu Masa Kini

Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2017, sebuah lagu berjudul ‘Plastic Love’ diunggah di Youtube. ‘ Plastic Love ’ yang dinyanyikan o...