Kemarin (24 July 2017), di Group LINE yang berisi teman-teman kampus saya, salah seorang teman saya membroadcast berita tentang angkot yang meledak di daerah Pluit, Jakarta Utara, dan merenggut nyawa si sopir. Di dalam broadcast itu, tertulis kronologis seperti waktu kejadian, tempat, bagaimana kejadian sebelum hingga sesudah ledakan, dan juga video dan foto ledakan angkot tersebut. Bahkan, dalam broadcastnya, dipaparkan juga nama, alamat, dan nomor telepon saksi dari kejadian tersebut. Teman saya menjelaskan bahwa berita tersebut dia dapat dari broadcast grup daerah rumahnya (dia tidak menjelaskan apakah dia dapat dari WhatsApp, BlackBerry Messenger, LINE, atau media sosial lain).
![]() |
contoh postingan broadcast yang . Di dalamnya dijelaskan tempat/ tanggal lahir (pink), agama (orange), pekeerjaan (biru), alama dan no. hp (hitam) |
Sejujurnya,
saya tidak nyaman dengan broadcast
teman saya tersebut. Bukan, bukan karena foto atau video yang berbau darah dan
menyeramkan. Kalau hal itu sih saya tidak masalah. Bukan juga karena takut itu hoax atau bukan. Karena saya telah
mencari kebenaran beritanya, dan untungnya berita tersebut benar, dan diposting
oleh salah satu media yang legal (http://news.metrotvnews.com/peristiwa/GNl6mDPk-sopir-dan-angkot-terbakar-di-pluit).
Hal yang membuat saya risih dari broadcast
tersebut adalah dipaparkannya data diri saksi secara gamblang, tanpa adanya
sensor sedikitpun. Bayangkan saja, sudah namanya disebar, tanggal lahir,
pekerjaan, alamat, dan nomor teleponnya pun ikut disebar. Menurut saya, hal ini
tidak usah dilakukan. Bahkan sebenarnya tidak boleh dilakukan. Ada beberapa
alasan kenapa data diri saksi tidak boleh disebarkan sembarangan.
1. Mengganggu Privasi Seseorang
Ini
saya bermain dengan logika ya, jadi mohon maaf kalau terkesan common sense. Jadi begini, ketika ada seseorang
yang disebutkan dalam suatu berita orang-orang akan penasaran dengan nama yang
disebutkan di dalam berita tersebut. Entah mereka akan googling, atau mencari nama di media-media sosial. Nah, dengan
adanya ‘kemudahan’ berupa alamat dan nomor telepon, bukan tidak mungkin orang
lain akan menelepon atau mendatangi tempat tinggal dia secara tiba-tiba. Dia
akan terganggu dengan telepon yang tiba-tiba muncul saat dia sedang sibuk, atau
kedatangan tamu yang tidak diundang saat dia sedang menikmati waktu bersama
keluarga. Masih mending kalau kedatangan atau telepon orang itu untuk
menanyakan soal kasus kecelakaan itu, kalau seandainya cuma telepon iseng? Atau
telepon terror? Atau lebih buruknya lagi, kalau rumahnya ternyata dijadikan
sasaran untuk mencuri? Gimana?
2. Melanggar UU
Dalam
hal ini, Undang-Undang yang dilanggar adalah Peraturan Menteri Komunikasi Dan
Informatika republik Indonesia nomor 20 Tahun 2016 tentang perlindungan Data
Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Di dalam pasal 26, dikatakan bahwa setiap
orang berhak atas kerahasiaan identitas pribadinya. Selain itu, Pasal 26 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) juga menyebutkan bahwa:
1) Penggunaan
setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi
seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
2) Setiap
Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini
Jadi, dari peraturan ini, dapat
dipahami bahwa sebenarnya penyebaran identitas secara sembarangan seperti broadcast teman saya itu adalah suatu
pelanggaran Undang-Undang ITE. Dimana orang yang identitasnya disebar berhak
untuk melapor atau menuntut, terutama apabila penyebaran identitas tersebut merugikan
dia.
3. Melanggar HAM
Well, sebenarnya Hak atas Privasi tidak
disebutkan secara langsung di dalam UUD 1945, tapi dalam Pasal 28G ayat (1) UUD
RI 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”.
Pasal 28 G ini
berkaitan dengan Article 12 UDHR (Universal Declaration of Human Rights) Dalam
terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan
pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD RI 1945
sebagai berikut:
Article 12 UDHR
:
“No one shall be subjected to arbitrary
interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks
upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the
law against such interference or attacks”.
Terjemahan dalam
Putusan MK:
“Tidak seorang
pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau
hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan
pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat
perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”.
Nah, hal ini
berkaitan dengan poin 1 tadi, adanya penyebaran identitas seseorang secara
sembarangan melalui media sosial, akan mengganggu privasi seseorang. Ketika
privasi seseorang terganggu, maka secara hukum, hak asasinya pun telah
dilanggar. Dia berhak menuntut hak privasinya, jika dia memang merasa
terganggu.
Jadi,
buat orang-orang yang suka menyebar broadcast
berupa berita dan sebagainya. Saya mohon, baca dulu, dan jangan sampai
identitas orang lain, terutama alamat dan nomor telepon, tersebar begitu saja.
Terlepas dari apakah alamat dan nomor telepon itu palsu atau tidak, setidaknya
kita sudah menjauhi orang dari pelanggaran privasi, meskipun kita tidak kenal
orang itu (atau bahkan orang itu fiktif).
Yuk,
kita hormati privasi orang.
No comments:
Post a Comment