Catatan Hati Pemusik Gereja yang Tidak Penting (haha)



         Tulisan ini gua buat hanya berdasarkan opini gua, bukan berdasarkan catatan orang atau jurnal-jurnal penelitian nasional/internasional. Gua menulis tulisan ini dalam rangka mengungkapkan semua pikiran gua selama menjadi pemusik di GPIB Gideon, Kelapa Dua, Depok. Jadi maaf-maaf saja kalau seandainya tulisan ini benar-benar tidak seperti tulisan-tulisan ilmiah. Karena yaa, ini catatan pribadi gua hahaha.
            Musik dalam kehidupan orang kristen memang tidak bisa dipisahkan. Bisa dibilang, musik dalam kegiatan beribadah di gereja merupakan satu kesatuan yang dapat melancarkan jalannya peribadatan di sebuah gereja, hal ini membuat pelayanan pemusik dalam gereja menjadi hal yang penting dan krusial. Sayangnya, pemusik di dalam Gereja, terutama gereja-gereja  tradisional seperti HKBP, GPIB, dan gereja lainnya masihlah terbilang sedikit. Di Gereja gua, GPIB Gideon, Depok, jumlah pemusik dapat dihitung dengan jari. Ketika ditanyakan alasan mengapa tidak ingin menjadi pemusik di gereja, sebagian besar menjawab tidak percaya diri, tidak suka musiknya, dan juga ada yang tidak suka dengan ketidak bebas-an dalam bermain musik.
            Gua menjadi pemusik di gereja ketika berusia 14 tahun, pertama kali gua melayani adalah ketika paskah PA (Pelayanan Anak, di gereja lain menyebutnya sebagai sekolah minggu) saat itu, gua masih tidak berani, benar-benar takut di hadapan semua jemaat baik anak PA maupun orang tua yang menemani (Padahal di tempat les, gua udah sering konser kecil-kecilan haha). Bahkan juga sering kagok ketika memulai intro. Kemudian dari sana, gua mulai diminta pelayanan minggu di Gereja untuk ibadah umum, di situ gua juga masih ketakutan, padahal sudah latihan berhari-hari, tapi tetap saja masih takut ckckck...
            Gua mulai berani bermain santai pas kelas 11, ketika gua mencoba berbagai style untuk bermain satu lagu. Lagu ‘disini aku bawa Tuhan’ (Dison adong Huboan Tuhan) itu lagu pertama yang gua otak-atik, disaat yang lain bermain agak country dan agak batak, gua mencoba bermain ala bossanova,  and it was great! Gua memainkannya ketika persembahan sedang diedarkan (hanya instrumen, singer dan semua pelayan lain tidak bernyanyi), awalnya gua masih main yang standard, ala-ala country dan batak gitu. Tapi selama main gua tiba-tiba berpikir ‘Apa ga bosan ya mainnya gini-gini doang?’, akhirnya gua mencoba ‘mengotak-atik’ musiknya. Dimulai dari style nya dulu, awalnya chordnya kumainkan ala-ala appregio, lalu gua coba main sok jazzy (padahal baru belajar dasar-dasarnya doang hahaha), terus selama musiknya gua mainkan, gua selalu memikirkan style apa yang kira-kira cocok buat lagu ini. Tiba-tiba kepikiran aja mau mainin lagu itu pake bossanova. Ternyata berhasil! Waktu itu gua super seneng, dan, mungkin karena selama ini jarang yang mainin pake style itu, akhirnya sebagian besar jemaat pada ngeliatin gua terus selama main hahaha. Semenjak itu gua mulai berani main lagu gereja dengan style yang tidak umum, meskipun ya tetap saja harus melihat arti dari lagu yang kita mainkan.
            Jadi pemusik di gereja itu asik kok, ga kalah jauh sama jadi pemusik biasa. Kemampuan piano jadi ga hilang karena terus dimainkan. Dan juga orang-orang juga jadi kenal kita hahaha. Tapi ada enak, ada ga enaknya juga dong. Ya iyalah, kalau ga enaknya tuh ada banyak yaa. Waktu itu, pas kami lagi persiapan buat hari minggu, muncul bapak-bapak yang protes sama musik yang kami mainkan. Gua masih ingat kata-katanya waktu itu :
            “Di sini kan tulisannya organist, yang artinya pemain organ. Harusnya tuh mainnya seperti bermain organ, bukan kayak di cafe atau restoran!”
            Padahal siapa juga yang main kayak di cafe-cafe. Bahkan di gereja gua ga ada organ, adanya clavinova, berarti kami bukan organist dong, tapi clavinist hahaha.  Tapi dia cuma berkoar-koar sebentar, habis itu karena ga ada yang menanggapi, akhirnya dia diam sendiri, kasian...
            Dulu juga pernah ada ibu-ibu yang selalu menyuruh kami supaya lagunya diperlambat, bahkan kami ga bisa mengotak-atik musiknya. Bayangkan, waktu lagi persembahan, dan gua sedang mengotak-atik musiknya, tiba-tiba dia berdiri diantara bangku jemaat, terus nyuruh gua supaya jangan mainin lagu itu lagi. Gua itu orangnya ga suka dimarahin di depan umum, lebih suka kalau dikritik di depan gua langsung, tapi ga pake teriak-teriak kayak orang-orang DPR pas sidang Paripurna ke 7 (http://nasional.tempo.co/read/news/2014/10/28/078617694/paripurna-dpr-ricuh-meja-rapat-digulingkan) dan disitu selama main gua super gondok, rasanya pengen bejek-bejek tuh ibu-ibu, tapi ga nyelesain masalah juga, jadi gua cuma bisa bejek-bejek dalam khayalan :(, terus dia bilang “main musiknya tuh jangan kayak gitu bla bla bla bla”. Huh, padahal anaknya sendiri main musik kayak di cafe  remang-remang :(. Untung sekarang dia sudah pindah gereja, ya pergilah hush hush!
            Ada juga bapak-bapak yang bilang kalau gua dan beberapa teman (sesama pemusik gereja) mainnya salah, ga bener, dsb. Terus dia mengaku kalau dia udah dapet sertifikat, pernah pelatihan lah, dan sebagainya. Haduh, pak, kami juga udah pendidikan kali, dikata kami ga ngerti musik kali ya. Dan lebih sebelnya lagi, dia mengaku pernah pelatihan, pendidikan, dan sebagainya, tetapi ga mau jadi pelayan dengan alasan sibuk. Hebat ga tuh?
            Ada juga yang ga tukang kritik kayak orang-orang diatas, tapi merasa sok tahu. Waktu gua pelayanan, katanya bakal ada solois dan keyboardist yang mau ngisi pujian. Tapi dia ga dateng-dateng, jadi majelis pikir, dia ga jadi ngisi. Tapi pas lagi doa syafaat, barulah dia datang buru-buru, ngotak-atik sound system, dsb. Masalahnya, sound systemnya kan menyatu dengan  clavinova ku, dan kalau suaranya dikecilkan, otomatis suara musikku juga bakal kecil, Nah, waktu itu dia otak-atik, dia ga kembalikan seperti semula. Saat itu gua lagi doa, jadi ga merhatiin suasana sekitar juga. Dan saat doxology (di gereja kami, doxology biasa dinyanyikan), gua kaget karena suaranya tiba-tiba mengecil 50%. Ya gua kaget dong, begitu gua merhatiin soundnya, gua langsung bete 10 kali lipat. Akhirnya pas selesai doxology, gua langsung tinggalin clavinova, terus membenarkan soundnya ke semula. Mungkin dia sadar kalau dia salah, langsung nyamperin gua, terus langsung gua komen aja “Makanya om jangan sok tahu kalau telat”. Ya, kasar, maafkan gua.
            Duh jadi ngedumel gini hahaha. Tapi ya begitulah, ternyata orang-orang di gereja nyebelinnya sama kayak orang-orang di luar gereja. Dan menjadi pemusik gereja tidak segampang yang orang lain kira. Kenapa? Karena ya ada banyak halangan yang bikin kita tuh jadi ga sejahtera selama melayani. Dan yang paling sering muncul bukan soal teknis, tapi orangnya. Ada yang banyak mau tapi ga bisa kasih solusi, ada yang idealis tapi ga bisa kasih tahu alasan kenapa idealis itu harus ditegakkan, ada juga yang mengintervensi cara main kita, tapi dia ga mau memperbaiki cara main orang lain. Yah begitulah, tapi kalau kata papa sih, kita ga boleh masukkin itu ke dalam hati, anggap aja angin lalu. Kalau ngga, yang ada malah kita mainnya ga menghayati, akhirnya niat untuk melayani pun hilang. Dan gua harap, partner-partner pemusik di Gereja ga kapok ya buat main di gereja. Gua yakin, dengan adanya masalah-masalah kayak gini, pasti kita bakal lebih kuat, baik mental maupun iman. Semangat!

Catatan hati seorang Pemusik yang ga penting
24-Oktober-2015
09:09

Hak Bebas dari Rasa Takut : Analisis Kasus Salim Kancil



HAM : Bebas dari Rasa Takut

Salah satu konsep HAM (Hak Asasi Manusia) yang  mendasar dan dimiliki oleh manusia sebagai kodratnya adalah bebas dari rasa takut. Bebas dari rasa takut adalah pernyataan negara bahwa segala warga negaranya dilindungi hak sipil dan politiknya dimana warga negaranya diberikan perlindungan terkait dengan keamanan hidup, bersaksi, menyatakan pendapat dan aspek hidup lainnya. Negara Indonesia sebagai negara hukum tentunya memiliki instrumen hukum yang mendukung pernyataan ini, seperti tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 G yang menyatakan bahwa :
UUD 1945 Pasal 28 G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Hak bebas dari rasa takut di deklarasikan oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D.Roosevelt dan kebebasan keempat dari fourth freedom karena mengahayati benar bahwa kebebasan atas segala sesuatu yang mendukung hidup dan penghidupannya dihargai dan diperjuangkan secara internasional. The Fourth Freedom sebagai salah satu akar instrumen hukum perjuangan HAM dunia adalah sebagai berikut.
1.      Freedom of speech
2.      Freedom of worship
3.      Freedom from want
4.      Freedom from fear
Freedom of fear menurut Roosevelt adalah jika diterjemahkan dalam worldwide bahwa tidak ada suatu bangsa pun yang berada di posisi untuk melakukan agresi fisik terhadap siapapun di dunia ini baik secara individual maupun bangsa lain. Negara wajib melindungi warga negaranya dari segala serangan baik fisik maupun rasa takut sebab bebas dari rasa takut adalah hak asasinya sebagai manusia. Hal ini perlu dilindungi karena jika manusia hidup dalam rasa takut maka hak asasinya sebagai manusia sudah dilanggar oleh negara sebagai pelindung hak asasi.
Implementasi dari penegakan HAM bahwa terdapat ketegasan akan bebas dari rasa takut terlihat dari salah satuny adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat. Dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Maknanya adalah  bahwa setiap Negara menjamin atas kebebasan berorganisasi berserikat dan berkumpul dengan tidak merugikan pihak lain atau Negara itu sendiri dan mengeluarkan pendapat dengan bebas dan mendengar pendapat tersebut dengan baik , baik pendapatnya diterima atau pun tidak diterima. Namun faktanya, hak untuk menyatakan pendapat seringkali dibatasi oleh sistem-sistem seperti agama dan kebencian terhadap ras dan etnis tertentu. Hal ini dapat dilihat indikasinya di pengadilan ketika pengadilan memanggil saksi dan korban dalam sebuah kasus. Saksi maupun korban seringkali diancam atau terancam hidupnya ketika saksi dan korban dituntut untuk memberikan kesaksian yang benar di hadapan hukum.
Jadi, hak bebas dari rasa takut terkait dengan hak untuk menyatakan pendapat dimana hukum menjamin hal tersebut dan berhubungan pula dengan hak hidup. Ketika seseorang mengalami rasa takut maka mungkin hak hidupnya sedang terancam apabila manusia sebagai makhluk bebas juga diancam atau terancam ketika harus menyatakan kebenaran di hadapan hukum dan ham.

Sumber :
Edsitement.neh.gov/lesson.plan

Kasus Salim Kancil di Jawa Timur



Beberapa Pembunuh Salim Kancil Masih di Bawah Umur
VIVA.co.id - Kepolisian Daerah Jawa Timur terus mendalami keterangan 19 tersangka kasus pembunuhan Samsul atau Salim Kancil, aktivis antitambang di Desa Selok, Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur. Dari seluruh tersangka, ada beberapa yang masih di bawah umur. Menurut Kapolda Jawa Timur, Irjen (Pol) Anton Setiadji, diduga motif pembunuhan karena korban kerap menyuarakan aspirasi penolakan penambangan pasir besi di desa tersebut. 
            "Dugaan awal memang karena korban selalu menyuarakan penolakan penambangan pasir," kata Anton Setiadi di Kabupaten Sumenep, Madura, Selasa, 29 September 2015. Namun begitu, menurut Anton, penyidik masih terus melakukan pendalaman untuk mengetahui siapa aktor intelektual dari aksi pembunuhan ini. Anton mengaku sudah berkoordinasi dengan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti terkait permasalahan ini. Atas instruksi Kapolri, seluruh penambangan pasir di Kabupaten Lumajang telah ditutup.
            Seperti diketahui, Salim Kancil tewas setelah dianiaya puluhan orang bayaran yang diduga suruhan Tim 12 yang pro terhadap penambangan. Sebelum terjadi pembunuhan, orang-orang suruhan ini telah melakukan intimidasi terhadap warga yang menolak penambangan. Bahkan beredar enam nama warga yang akan dibunuh bila tetap menolak penambangan. Salim Kancil merupakan target pertama mereka. Salim Kancil diculik dan dihabisi dengan cara keji. Dalam keadaan tangan dan kaki terikat, dia diseret ke balai desa. Dia kemudian dianiaya banyak orang dengan cara distrum dan digergaji lehernya. Lebih sadis lagi, kepala Salim Kancil dipacul dan dihantam dengan batu dan benda keras lain. Setelah meninggal, mayatnya kemudian dibuang di tepi jalan di areal perkebunan warga.
            Target kedua adalah Hamid, namun dia lolos karena tidak ada di rumah. Sementara target ketiga adalah Tosan, dia juga dianiaya dengan cara keji tapi berhasil diselamatkan warga. Terkait dengan aksi keji yang telah direncanakan ini, seluruh warga meminta polisi bertindak tegas dengan menangkap pelaku dan aktor intelektual dari aksi ini. Polisi diminta jangan melakukan pembiaran terhadap aksi premanisme seperti ini. "Warga meminta semua ditindak tegas, baik dalang dan juga wayang-wayangnya ditangkap," kata warga bernama Yudi. Bila polisi tidak segera bertindak, kata Yudi, masyarakat antitambang juga bisa berbuat nekat. Yang dikhawatirkan, bisa saling balas dendam."Aksi ini sudah berhembus, keluarga korban tidak terima atas pembunuhan sadis ini," ujar Yudi. (ase)

Sumber :
Eko Priliawito,2015, ‘Beberapa Pembunuh Salim Kancil Masih di Bawah Umur’, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/680134-beberapa-pembunuh-salim-kancil-masih-di-bawah-umur

Bocah 13 Tahun Ini Menuturkan Cara Salim Kancil Dibunuh

Selasa, 29 September 2015, 13:31 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Salim (46), petani penolak tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang, sempat dihajar di depan anak bungsunya, Dio (13), di halaman rumah mereka. Salim atau dikenal sebagai Kancil, kemudian tewas di hutan sengon dekat kuburan, tak jauh dari rumahnya. Ditemui di rumahnya, Dio bercerita, Sabtu (26/9) lalu, di rumah hanya ada dia dan bapaknya. Sementara ibunya, Tijah, sedang mencari rumput di tegalan semak jauh dari rumah.
            Saat itu, kata Dio, bapaknya sedang mengeluarkan motor hendak pergi bersamanya untuk ikut demonstrasi menolak tambang pasir. Ketika itu, menurut Dio, sekitar pukul 07.30 WIB, rombongan sepeda motor menyerbu ke halaman rumahnya. Lebih dari 30 orang menghambur ke arah sang Bapak.

            "Bapak diteriaki, dipukul. Tangannya dipegangi, dipukul pakai batu kepalanya," ujar Dio di rumahnya, Senin (29/9).  
            Dio saat itu mengaku kalut dan menangis, lalu berlari ke arah samping menuju rumah pamannya. Dia berteriak memanggil pamannya untuk keluar. Tapi, salah seorang preman kemudian meneriakinya agar tidak macam-macam. "Kon ojo rame, tak pateni pisan (kamu jangan teriak, kubunuh sekalian)," kata Dio menirukan teriakan si preman.  
            Dio mengaku hanya sanggup menangis melihat sang Bapak diikat tangannya ke belakang. Ia melihat bapaknya diimpit di motor untuk dibawa ke balai desa. Dio sempat mengejar hingga jalan raya, ia menangis sejadi-jadinya. 

Sumber :

Republika Online,2015,‘Bocah 13 Tahun Ini Menuturkan Cara Salim Kancil Dibunuh’, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/09/29/nvfe45318-bocah-13-tahun-ini-menuturkan-cara-salim-kancil-dibunuh

 

Analisis Kasus

            Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa pelanggaran HAM yang terjadi, yaitu hak bebas dari rasa takut, hak untuk hidup, dan hak kebebasan berpendapat atau berbicara. Dalam kasus ini disebutkan bahwa para pelaku telah melakukan intimidasi terhadap warga yang menolak penambangan. Hal ini tentu membuat warga merasa terkekang untuk mengeluarkan aspirasi dan pendapatnya, dengan kata lain, hak mereka untuk mengeluarkan pendapat pun terhalangi oleh para pelaku, dan melanggar UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi : “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’
            Hak bebas dari rasa takut merupakan salah satu instrumen HAM yang dilanggar oleh para pelaku pembunuhan Salim Kancil, karena pembunuhan tersebut terjadi di depan banyak orang, bahkan anaknya sendiri, hal itu membuat warga desa tersebut menjadi takut. Mereka tidak berani bertindak karena adanya ancaman dari para pelaku tersebut.
            Kemudian, kasus ini juga melanggar hak atas hidup, terbukti dari tindakan pelaku yang tega menganiaya dan membunuh Salim Kancil secara sadis karena dia berani menolak penambangan pasir besi di sana secara terang-terangan. Tindakan pembunuhan tersebut secara jelas melanggar hak hidup sesuai yang tertera di alam Pasal 28A Undang-Undang Dasar  1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” dan  dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya



Efektivitas Nostalgia dalam Lagu-Lagu Masa Kini

Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2017, sebuah lagu berjudul ‘Plastic Love’ diunggah di Youtube. ‘ Plastic Love ’ yang dinyanyikan o...