Media Sosial sebagai Pedang Bermata Dua dalam Kasus Bunuh Diri


Pada 25 Juli 2017, masyarakat, terutama netizen (masyarakat yang aktif di dunia maya), dikejutkan dengan video dua orang perempuan yang melompat dari lantai 6 di sebuah apartemen di Bandung. Video ini sangat viral pada hari itu, karena di dalam video itu ditampilkan secara terang-terangan bagaimana proses dari perempuan itu berdiri di pinggir, hingga akhirnya perempuan tersebut jatuh ke tanah dan tewas. Di dalam video tersebut juga ditampilkan reaksi masyarakat yang melihat dan berteriak karena kejadian tersebut. Setelah diidentifikasi, polisi menyatakan bahwa dua orang perempuan yang tewas tersebut adalah kakak beradik berinisial EP (34) dan ESP (28), dan berdasarkan penjelasan anggota keluarga korban, kedua perempuan itu memang sudah mengalami depresi berkepanjangan[1].
cuplikan video bunuh diri dua orang perempun kakak beradik di Bandung 25 Juli yang lalu

Pada bulan maret 2017 lalu, kita juga dikejutkan dengan video Live di Facebook yang menampilkan seorang pria yang berusaha gantung diri. Di dalam videonya, pria berinisial PI (35) ini menceritakan keluh kesahnya, dan bagaimana hatinya hancur saat ditinggalkan istri yang sangat dia cintai. Karena ditinggal istri, dia jadi putus asa dan memutuskan untuk melakukan gantung diri secara live di Facebook[2].  
PI, gantung diri secara live di facebook, setelah sebelumnya dia curhat tentang kesedihannya ditinggal isteri

Bulan April lalu, masyarakat Georgia, Amerika Serikat, digegerkan dengan kasus seorang anak remaja berinisial MH (13). MH bunuh diri dengan cara menembak kepalanya dengan pistol, dan menampilkan tindakannya secara live di Instagram. Ibunya yang bernama Shaniqua Stephens mengatakan jika sebelum peristiwa mengerikan tersebut berlangsung, putranya membuang sampah ke dapur. Tak lama kemudian dia masuk ke dalam kamarnya dan Shaniqua mendengar suara tembakan. Kedua orangtuanya tidak tahu kenapa MH memutuskan untuk bunuh diri[3].
MH (13), menembak kepalanya sendiri dan live melalui instagram
EP, ESP, MH, dan PI adalah sebagian kecil dari masyarakat yang terekspos secara besar-besaran karena kasus bunuh diri yang mereka lakukan. Mereka juga sebagian kecil dari masyarakat dunia maya yang kasusnya cukup viral di media sosial. Beberapa tahun belakangan, bunuh diri memang menjadi salah satu aksi yang paling banyak digunakan masyarakat dalam menghadapi kondisinya. Bahkan menurut WHO, pada tahun 2020, sekitar 1,53 juta orang akan meninggal karena bunuh diri[4]. Fenomena bunuh diri ini semakin tinggi dengan adanya media sosial. Simon J Howard dan Wendy Surtees, dalam jurnal mereka yang meninjau tentang kasus bunuh diri di media sosial di Tyneside Selatan, Inggris, menyatakan bahwa kebanyakan korban bunuh diri di media sosial adalah masyarakat berusia di bawah 45 tahun, dan memiliki masalah kejiwaan dan umumnya adalah pegawai kantoran[5].

Saya tidak membicarakan mengapa seseorang bunuh diri, apa faktor penyebab secara eksternal maupun internal. Sesuai dengan judul dari tulisan ini. Saya lebih membicarakan bagaimana fenomena bunuh diri di media sosial memberikan dampak pada masyarakat, baik negatif maupun positif.

Media sosial, sebagai tempat berinteraksi terbesar di dunia maya, dapat menjadi pedang bermata dua di dalam fenomena bunuh diri. Dengan kata lain, adanya fenomena bunuh diri di media sosial menjadi hal yang sangat buruk, namun bisa juga menjadi hal yang sangat positif.

Dari segi yang buruk, media sosial dapat ‘mempermudah’ seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Ketika seseorang bunuh diri di media sosial, maka dengan cepat tindakannya akan tersebar ke seluruh penjuru internet. Tindakan ini biasa disebut sebagai behavioural contagion. 

Behavioural contagion atau ‘perilaku menular’, adalah suatu interaksi sosial, di mana tindakan seseorang dijadikan panutan oleh orang lain, karena tindakannya diekspos oleh media massa. Tindakan ini dapat bersifat baik, maupun buruk[6]. Berkaitan dengan behavioural contagion, orang yang berniat bunuh diri pada akhirnya juga ikut meniru proses kematian yang dipilih orang sebelumnya. Kondisi ini sangat berdampak bagi mereka yang rentan, terutama kelompok yang berusia di bawah 25 tahun[7]. Jika hal ini dibiarkan, maka akan dapat membahayakan saudara-saudara kita yang masih tergolong remaja dan masihmencari jatidirinya.

Meski begitu, sebenarnya kasus ini bermanfaat juga bagi netizen. Bagi sebagian besar masyarakat, mereka akan menyadari bahwa bunuh diri dan keinginan untuk bunuh diri bukanlah isapan jempol belaka. Masyarakat akan mulai aware dengan kondisi sekitarnya, terutama ketika di sekitarnya ada seseorang yang memiliki ciri-ciri sudah putus asa dan berniat bunuh diri. Munculnya komunitas-komunitas yang berusaha mencegah terjadinya bunuh diri seperti ‘Into the Light’ adalah salah satu hasil dari menyebarnya kasus bunuh diri di media sosial.

Terlepas dari baik atau tidaknya efek media sosial dalam bunuh diri, sejatinya bunuh diri adalah hal yang sangat buruk. Kepekaan dan kepedulian terhadap masyarakat perlu ditingkatkan lebih lagi terhadap orang-orang di sekitar kita. Karena kepedulian dari satu orang saja, akan memberi pengaruh bagi pilihan mereka J

Salam,

Shirleyuri
           





[1] Putra Prima Perdana.2017.’ 2 Wanita yang Bunuh Diri Melompat dari Apartemen Gateway Kakak Beradik’. Available from http://regional.kompas.com/read/2017/07/24/20144341/2-wanita-yang-bunuh-diri-melompat-dari-apartemen-gateway-kakak-beradik  [30 July 2017]
[2] Kanavino Ahmad Rizqo.2017.’ Ini Curhat Lengkap Pria yang Gantung Diri Sambil Live di Facebook’. Available from https://news.detik.com/berita/d-3450002/ini-curhat-lengkap-pria-yang-gantung-diri-sambil-live-di-facebook  [30 July 2017]
[3] Yulia Yulee.2017. ‘Siarkan Bunuh Diri di Instagram Live, Remaja Ini Gegerkan Medsos’. Available from http://citizen6.liputan6.com/read/2920845/siarkan-bunuh-diri-di-instagram-live-remaja-ini-gegerkan-medsos  [31 July 2017]
[4] Yari Gvion, Alan Apter. ‘Suicide and Suicidal Behavior’.  Public Health Reviews Vol. 34, No. 2; Rennes, July 1, 2012. page 2
[5] Simon J Howard and Wendy Surtees. ‘A case series review of suicides associated with social media use in South Tyneside, England’. Journal of the Royal Society of Medicine Open;0(0) 1–2DOI: 10.1177/2054270415619322. page 2
[6] Stephenson, G. M., & Fielding, G. T. (1971). An experimental study of the contagion of leaving behavior in small gatherings. Journal of Social Psychology, 84(1), 81-91.
[7] Cox, Georgina R.; Robinson, Jo; Williamson, Michelle; Lockley, Anne; Cheung, Yee Tak Derek; Pirkis, Jane (2012-01-01). "Suicide Clusters in Young People". Crisis33 (4): 208–214. ISSN 0227-5910doi:10.1027/0227-5910/a000144.

Privasi Identitas di dalam Broadcasting Messages

         
     Kemarin (24 July 2017), di Group LINE yang berisi teman-teman kampus saya, salah seorang teman saya membroadcast berita tentang angkot yang meledak di daerah Pluit, Jakarta Utara, dan merenggut nyawa si sopir. Di dalam broadcast itu, tertulis kronologis seperti waktu kejadian, tempat, bagaimana kejadian sebelum hingga sesudah ledakan, dan juga video dan foto ledakan angkot tersebut. Bahkan, dalam broadcastnya, dipaparkan juga nama, alamat, dan nomor telepon saksi dari kejadian tersebut. Teman saya menjelaskan bahwa berita tersebut dia dapat dari broadcast grup daerah rumahnya (dia tidak menjelaskan apakah dia dapat dari WhatsApp, BlackBerry Messenger, LINE, atau media sosial lain).

contoh postingan broadcast yang . Di dalamnya dijelaskan tempat/ tanggal lahir (pink), agama (orange), pekeerjaan (biru), alama dan no. hp (hitam)

                Sejujurnya, saya tidak nyaman dengan broadcast teman saya tersebut. Bukan, bukan karena foto atau video yang berbau darah dan menyeramkan. Kalau hal itu sih saya tidak masalah. Bukan juga karena takut itu hoax atau bukan. Karena saya telah mencari kebenaran beritanya, dan untungnya berita tersebut benar, dan diposting oleh salah satu media yang legal (http://news.metrotvnews.com/peristiwa/GNl6mDPk-sopir-dan-angkot-terbakar-di-pluit). Hal yang membuat saya risih dari broadcast tersebut adalah dipaparkannya data diri saksi secara gamblang, tanpa adanya sensor sedikitpun. Bayangkan saja, sudah namanya disebar, tanggal lahir, pekerjaan, alamat, dan nomor teleponnya pun ikut disebar. Menurut saya, hal ini tidak usah dilakukan. Bahkan sebenarnya tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan kenapa data diri saksi tidak boleh disebarkan sembarangan.

1.       Mengganggu Privasi Seseorang

Ini saya bermain dengan logika ya, jadi mohon maaf kalau terkesan common sense. Jadi begini, ketika ada seseorang yang disebutkan dalam suatu berita orang-orang akan penasaran dengan nama yang disebutkan di dalam berita tersebut. Entah mereka akan googling, atau mencari nama di media-media sosial. Nah, dengan adanya ‘kemudahan’ berupa alamat dan nomor telepon, bukan tidak mungkin orang lain akan menelepon atau mendatangi tempat tinggal dia secara tiba-tiba. Dia akan terganggu dengan telepon yang tiba-tiba muncul saat dia sedang sibuk, atau kedatangan tamu yang tidak diundang saat dia sedang menikmati waktu bersama keluarga. Masih mending kalau kedatangan atau telepon orang itu untuk menanyakan soal kasus kecelakaan itu, kalau seandainya cuma telepon iseng? Atau telepon terror? Atau lebih buruknya lagi, kalau rumahnya ternyata dijadikan sasaran untuk mencuri? Gimana?

2.       Melanggar UU

Dalam hal ini, Undang-Undang yang dilanggar adalah Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika republik Indonesia nomor 20 Tahun 2016 tentang perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Di dalam pasal 26, dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kerahasiaan identitas pribadinya. Selain itu, Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga menyebutkan bahwa:
1)    Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
2)    Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini
                Jadi, dari peraturan ini, dapat dipahami bahwa sebenarnya penyebaran identitas secara sembarangan seperti broadcast teman saya itu adalah suatu pelanggaran Undang-Undang ITE. Dimana orang yang identitasnya disebar berhak untuk melapor atau menuntut, terutama apabila penyebaran identitas tersebut merugikan dia.

3.       Melanggar HAM

                 Well, sebenarnya Hak atas Privasi tidak disebutkan secara langsung di dalam UUD 1945, tapi dalam Pasal 28G ayat (1) UUD RI 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan  hak asasi”.
Pasal 28 G ini berkaitan dengan Article 12 UDHR (Universal Declaration of Human Rights) Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD RI 1945 sebagai berikut:

Article 12 UDHR :

                 “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.

Terjemahan dalam Putusan MK:

           “Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”.

          Nah, hal ini berkaitan dengan poin 1 tadi, adanya penyebaran identitas seseorang secara sembarangan melalui media sosial, akan mengganggu privasi seseorang. Ketika privasi seseorang terganggu, maka secara hukum, hak asasinya pun telah dilanggar. Dia berhak menuntut hak privasinya, jika dia memang merasa terganggu.

                Jadi, buat orang-orang yang suka menyebar broadcast berupa berita dan sebagainya. Saya mohon, baca dulu, dan jangan sampai identitas orang lain, terutama alamat dan nomor telepon, tersebar begitu saja. Terlepas dari apakah alamat dan nomor telepon itu palsu atau tidak, setidaknya kita sudah menjauhi orang dari pelanggaran privasi, meskipun kita tidak kenal orang itu (atau bahkan orang itu fiktif).

                Yuk, kita hormati privasi orang.

Efektivitas Nostalgia dalam Lagu-Lagu Masa Kini

Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2017, sebuah lagu berjudul ‘Plastic Love’ diunggah di Youtube. ‘ Plastic Love ’ yang dinyanyikan o...